KompasReal.com – Sejarah perjalanan bangsa kerap dilupakan, padahal di dalamnya tersimpan kisah-kisah penting yang bisa memperkaya identitas lokal.
Salah satunya adalah catatan tentang seorang penjelajah asal Austria, Ida Pfeiffer, yang pada pertengahan abad ke-19 pernah menapakkan kaki di Tanah Batak, termasuk di Padangsidimpuan.
Kehadirannya bukan sekadar perjalanan wisata, melainkan ekspedisi etnografis yang kelak membuka mata dunia terhadap kehidupan masyarakat Batak.
Kunjungan Pfeiffer terjadi sekitar tahun 1852, jauh sebelum Bataklanden dikenal luas oleh kalangan Eropa.
Perjalanannya melintasi jalur berliku dari pesisir Sumatra Barat hingga pedalaman Tapanuli.
Ia menembus hutan lebat, menyeberangi sungai, dan singgah di sejumlah perkampungan, salah satunya Padangsidimpuan yang kala itu masih menjadi pusat perlintasan pedalaman.
Dari kota inilah, Pfeiffer melanjutkan perjalanannya ke Sipirok, hingga ke wilayah Pahae di Tapanuli Utara.
Keberanian Pfeiffer patut diacungi jempol. Sebagai seorang perempuan Eropa pada masa itu, langkahnya menembus jantung Sumatra dianggap luar biasa.
Ia mencatat pengalaman berinteraksi dengan masyarakat lokal, melihat adat, dan mencatat kehidupan sehari-hari orang Batak.
Padangsidimpuan menjadi saksi dari jejak kecil seorang penjelajah besar yang membawa cerita Tanah Batak ke dalam literatur Eropa.
Namun perjalanan itu tidak mudah. Pfeiffer menghadapi berbagai rintangan: jalan berlumpur, lintah di hutan, cuaca tropis yang tak bersahabat, hingga keterbatasan logistik.
Di Padangsidimpuan dan Sipirok, ia kerap berganti pemandu untuk bisa menembus desa-desa yang lebih jauh. Tantangan itu membuat setiap langkahnya di tanah Angkola menjadi catatan sejarah tersendiri.
Selain tantangan alam, Pfeiffer juga menghadapi sikap masyarakat yang beragam. Ada desa yang menyambut dengan ramah, bahkan menggelar pesta kecil dan musik tradisional.
Namun ada pula desa yang menolak kedatangannya karena curiga terhadap maksud seorang asing.
Di Padangsidimpuan, ia mencatat adanya percampuran rasa ingin tahu sekaligus kewaspadaan dari penduduk lokal.
Sayangnya, perjalanan hebat itu harus terhenti lebih awal. Pfeiffer jatuh sakit akibat malaria tropika ketika mencoba menembus wilayah Pahae.
Kondisi fisiknya yang melemah membuat ia tidak mampu melanjutkan perjalanan ke Danau Toba.
Akhirnya, ia memutuskan kembali ke pesisir melalui jalur yang sama, meninggalkan Padangsidimpuan sebagai salah satu titik penting dalam kisah pengembaraannya.
Meski singkat, kunjungan Pfeiffer ke Padangsidimpuan meninggalkan jejak sejarah yang bernilai.
Ia menjadi salah satu perempuan pertama dari Eropa yang mencatat langsung kehidupan Batak di abad ke-19.
Catatannya kini menjadi referensi penting bagi para sejarawan, antropolog, dan peneliti yang ingin memahami Batak di masa lampau sebelum gelombang kolonialisme dan misi agama datang lebih kuat.
Bagi masyarakat Padangsidimpuan, fakta bahwa kota ini pernah menjadi jalur ekspedisi seorang penjelajah dunia adalah kebanggaan tersendiri.
Sejarah ini menunjukkan bahwa daerah kita telah lama dikenal dunia, bukan sekadar dalam konteks politik kolonial, tetapi juga dalam catatan ilmiah dan budaya.
Hal ini sekaligus mempertegas posisi Padangsidimpuan sebagai gerbang peradaban di selatan Tapanuli.
Sayangnya, kisah tentang Ida Pfeiffer nyaris tenggelam dalam ingatan kolektif kita. Generasi muda banyak yang tidak tahu bahwa kota ini pernah menjadi bagian dari catatan perjalanan seorang penjelajah kelas dunia.
Oleh sebab itu, penting untuk mengangkat kembali cerita ini ke ruang publik agar masyarakat tidak kehilangan memori sejarah yang membanggakan.
Opini ini hendak menekankan bahwa Padangsidimpuan tidak boleh hanya dilihat sebagai kota kecil di Sumatra Utara, melainkan bagian dari sejarah global.
Jejak langkah Ida Pfeiffer di tanah ini adalah bukti bahwa peradaban lokal kita telah lama berinteraksi dengan dunia luar.
Kini, tugas kita menjaga, meneliti, dan merayakan sejarah itu sebagai identitas yang bisa membangun kepercayaan diri kolektif masyarakat Tapanuli. (KR03)