Muktamar PPP Memanas: Dua Ketua Umum Saling Klaim, Bayang-bayang Dualisme Kembali Menghantui Partai Ka’bah!

KompasReal.com
Pembukaan Muktamar PPP tahun 2025

KompasReal.com, Jakarta – Arena Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ancol, Jakarta Utara, pada Sabtu (27/9/2025) mendadak memanas.

Belum genap sehari berjalan, dua calon ketua umum sudah saling mengklaim sebagai pemimpin terpilih, memicu drama politik yang berpotensi mengulang sejarah kelam dualisme kepemimpinan di tubuh partai berlambang Ka’bah itu.

Pusaran klaim kemenangan ini melibatkan dua figur sentral: Mardiono dan Agus Suparmanto.

Awalnya, Pimpinan Sidang Muktamar X PPP, Amir Uskara, mengumumkan Mardiono sebagai ketua umum terpilih secara aklamasi.

Keputusan ini diambil setelah Mardiono menjadi satu-satunya calon yang hadir dan disebut-sebut telah mengantongi dukungan masif dari 1.304 muktamirin pemilik hak suara.

“Selamat Pak Mardiono atas terpilihnya secara aklamasi dalam Muktamar X yang baru saja kami ketok palunya,” seru Amir Uskara dalam konferensi pers pasca-muktamar, Sabtu malam.

Penetapan yang terkesan terburu-buru ini, bahkan maju dari jadwal semula, dijelaskan Mardiono sebagai langkah penyelamatan partai.

Ia berdalih, gelagat keributan sudah tercium sejak awal, sehingga sesuai Pasal 11 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), proses dipercepat dalam kondisi darurat.

“Ini kita anggap sebagai penyelamatan dalam kondisi situasi yang sangat darurat,” tegas Mardiono.

Namun, keputusan kilat tersebut sontak memicu gelombang penolakan dari sebagian peserta Muktamar.

Melalui Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhamad Romahurmuziy alias Romy, kubu penolak menyatakan penetapan Mardiono tidak sah.

Romy menegaskan bahwa Muktamar ke-10 PPP masih berlangsung hingga pukul 22.30 WIB dan belum menetapkan ketua umum. Padahal, agenda Muktamar dijadwalkan berlangsung tiga hari penuh, dari 27 hingga 29 September.

“Adanya berita sekitar pukul 21.22 WIB yang menyebutkan bahwa Mardiono terpilih secara aklamasi adalah palsu, klaim sepihak, tidak bertanggung jawab, dan merupakan upaya memecah belah Partai Persatuan Pembangunan,” kecam Romy dalam rilis tertulisnya.

Baca Juga :  Mengenal Sosok HAPENDI HARAHAP (Bakal Calon Walikota Padangsidimpuan)

Tak berhenti di situ, buntut dari penolakan ini adalah penetapan calon lain sebagai ketua umum terpilih oleh sebagian kader, termasuk Romy. Sosok yang mereka usung adalah eks Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto.

Sejarah Dualisme yang Kembali Mengintai

Saling klaim kemenangan ini bukan kali pertama terjadi. Ini adalah pengulangan pahit sejarah dualisme kepemimpinan yang pernah melanda PPP pada tahun 2014.

Kala itu, menjelang Pilpres, partai ini terbelah karena perbedaan sikap terkait dukungan calon presiden.

Romy menjadi salah satu aktor kunci yang menolak dukungan Ketua Umum Suryadharma Ali kepada Prabowo Subianto, berujung pada Rapimnas yang menurunkan Suryadharma Ali.

Pada tahun yang sama, dualisme semakin meruncing dengan digelarnya dua Muktamar tandingan.

Muktamar di Ancol, Jakarta pada 2 November 2014 menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum, menandingi Muktamar di Surabaya pada 15-19 Oktober 2014 yang mengukuhkan Romy sebagai pimpinan.

Konflik panjang itu baru mereda pada tahun 2017 setelah Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali (PK) menyatakan kepemimpinan Romy sebagai yang sah, didahului oleh Muktamar Islah pada tahun 2016 di Jakarta.

Kini, dengan kembali munculnya dua klaim kepemimpinan di hari pertama Muktamar, PPP dihadapkan pada tantangan serius.

Akankah sejarah dualisme terulang dan membawa partai ini ke dalam pusaran konflik yang sama? Atau mampukah para elit menemukan jalan islah demi menjaga keutuhan Partai Persatuan Pembangunan? (KR/CNN)