Opini  

Indonesia di Persimpangan Sejarah

KompasReal.com – Indonesia adalah bangsa besar dengan kekayaan alam berlimpah, garis pantai yang tak berujung, dan generasi muda yang penuh mimpi. Namun hingga hari ini, dunia masih melihat kita lebih sebagai pasar daripada pencipta.

Perekonomian kita masih digerakkan oleh konsumsi dan impor, bukan inovasi dan karya sendiri. Inilah wajah Indonesia hari ini: negeri dengan potensi raksasa, tetapi berdiri di persimpangan yang menentukan arah seratus tahun ke depan.

Kita bisa belajar dari perjalanan bangsa lain. India sering dipuji karena banyak anak bangsanya menduduki kursi CEO perusahaan global: Sundar Pichai di Google, Satya Nadella di Microsoft, dan Arvind Krishna di IBM.

Itu adalah prestasi personal yang luar biasa, tetapi apakah keberhasilan individu tersebut otomatis mengangkat ekonomi India? Kenyataannya tidak. Sejak 1990-an India membangun dirinya sebagai pusat Business Process Outsourcing.

Jutaan orang terserap dalam call center, data entry, dan layanan IT murah. Mereka mendapat pekerjaan, tetapi dengan upah rendah dan tanpa kedaulatan teknologi.

Hingga kini GDP per kapita India masih tertinggal, karena mereka tidak menguasai desain, paten, dan intellectual property yang bisa dijual ulang ke dunia. Sebaliknya, Korea Selatan yang enam puluh tahun lalu lebih miskin dari Indonesia memilih jalan berani.

Mereka membangun industri melalui Original Design Manufacturing (ODM). Mereka tidak hanya membuat televisi atau mobil, mereka merancang, mematenkan, dan mengekspornya.

Taiwan memilih jalur serupa dengan mendirikan TSMC, kini menjadi jantung industri chip dunia. Israel, meski kecil dan hidup dalam konflik, tetap melesat berkat kekuatan intellectual property: dari algoritma keamanan, teknologi pertanian, hingga radar pertahanan. Itulah jalan bangsa pencipta, bukan sekadar pekerja.

Singapura memberi pelajaran berbeda. Negara kecil tanpa tambang, sawah, atau hutan itu memilih menciptakan ODM dalam sektor finansial dan trust. Mereka menghapus pajak emas, mendirikan Singapore Precious Metals Exchange, merancang struktur family office, dan menjual reputasi sebagai safe haven. Kini lebih dari empat ribu family office global menyimpan lebih dari empat triliun dolar di sana.

Baca Juga :  Alwi Wahyudi Harahap Juara Asia Cup Tester di KKSU 2025, Bukti Keunggulan Kopi Sumatera Utara

Singapura menunjukkan bahwa ODM tidak selalu berarti barang fisik. Ia bisa berupa desain sistem, regulasi, bahkan reputasi yang kemudian menjadi aset ekonomi.

Bahkan negara-negara teluk yang kaya minyak kini berlari meninggalkan ketergantungan pada sumber daya alam. Arab Saudi meluncurkan Vision 2030 untuk membangun kota pintar NEOM berbasis AI.

Uni Emirat Arab mengembangkan industri pertahanan dan meluncurkan misi luar angkasa, sekaligus menjadikan Dubai sebagai pusat fintech global. Qatar menggunakan olahraga sebagai ODM, merancang sistem logistik dan manajemen skala dunia lewat Piala Dunia.

Mereka semua tahu minyak akan habis, dan masa depan dimiliki oleh mereka yang berani menciptakan desain baru dunia.

Indonesia tidak boleh berhenti sebagai pasar dan buruh digital. Kita harus menjadi bangsa pencipta.

Bayangkan radar cuaca Garuda Radar rancangan kita digunakan di seluruh Asia, atau sistem keamanan digital Garuda Shield menjadi standar ASEAN. Bayangkan chip Garuda WiFi7 rancangan anak bangsa hadir di miliaran perangkat. Setiap unit terjual berarti devisa kembali ke tanah air, bukan mengalir keluar negeri.

Untuk itu dibutuhkan keberanian politik dan kebijakan yang nyata. Kita memerlukan skema hibah nasional sebesar sepuluh miliar rupiah per proyek ODM dengan batas waktu Time to Market 18 bulan, dengan pencairan berbasis milestone, audit terbuka, dan dana pendamping.

Negara harus hadir bukan sekadar sebagai regulator, melainkan sebagai investor bangsa. Ekraf harus berdiri sebagai orkestrator lintas sektor, merangkul ESDM dalam energi, Diktisaintek dalam pendidikan dengan kurikulum berdampak yang tidak boleh terkungkung asosiasi program studi yang sempit, serta BRIN dengan inovasi riset yang nyata.

Air mata rakyat Indonesia bukan karena mereka miskin sumber daya, tetapi karena mereka belum diberi kesempatan untuk menjadi pencipta. Bangsa ini menunggu momen besar untuk bangkit. Dan momen itu ada di depan mata.

Baca Juga :  Banjir Padangsidimpuan, Jalan Sehat Pemkot, Kesengsaraan Warga Terabaikan?

Indonesia bisa tetap menjadi buruh digital dunia, atau sebagai bangsa pencipta. Sejarah menunggu jawaban kita. (KR/CNBC)