Wacana Redenominasi Rupiah: Efisiensi Finansial atau Ilusi Ekonomi?

Redaksi

Fotho Uang Jika Sudah di Redominasi

KOMPASREAL.COM,JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali mengkaji wacana redenominasi rupiah atau penghilangan tiga nol dalam nilai mata uang. Kebijakan ini disebut bertujuan menyederhanakan sistem transaksi, memperkuat citra rupiah di tingkat internasional, serta menyesuaikan nilai nominal dengan standar ekonomi modern. Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kebijakan tersebut masih dalam tahap pembahasan lintas lembaga dan belum akan diterapkan dalam waktu dekat. “Redenominasi bukan urusan langsung Kementerian Keuangan, itu domain Bank Indonesia. Pemerintah tetap mendukung sepanjang waktunya tepat dan ekonomi stabil,” ujar Purbaya di Jakarta, Senin (10/11). (Detik.com, 2025).

Purbaya menambahkan, fokus utama pemerintah saat ini adalah menjaga kestabilan harga, memperkuat APBN, dan memastikan transisi ekonomi berjalan aman pascapergantian pemerintahan. “Kita tidak mau langkah simbolik justru menciptakan ketidakpastian baru di sektor riil. Persiapan teknis dan komunikasi publik harus matang jika redenominasi benar-benar dilakukan,” tambahnya. Ia juga memastikan tidak ada dampak langsung terhadap nilai tukar maupun daya beli masyarakat karena kebijakan ini bersifat penyederhanaan angka, bukan pemotongan nilai uang. (CNBC Indonesia, 2025).

Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, redenominasi bisa menjadi sinyal kepercayaan diri pemerintah terhadap stabilitas moneter. “Dari sisi makro, ini memperbaiki persepsi global terhadap rupiah. Efisiensi dalam pencatatan transaksi, pembukuan, dan sistem pembayaran digital juga meningkat signifikan,” ujarnya. Ia menilai, langkah ini selaras dengan digitalisasi ekonomi nasional yang menuntut keseragaman angka dan kemudahan perhitungan.

Namun, sejumlah analis menilai kebijakan ini bukan tanpa risiko. Pengamat keuangan Aviliani menyebut, “Jika sosialisasi dan edukasi publik tidak merata, masyarakat bisa bingung membedakan nominal lama dan baru. Dampaknya bisa memicu inflasi psikologis akibat pembulatan harga.” (Hukumonline, 2025). Selain itu, sektor UMKM juga berpotensi terdampak karena biaya transisi sistem kasir dan pembukuan yang harus disesuaikan.

Baca Juga :  Presiden Prabowo: Penjarah Rumah dan Perusak Fasilitas Publik Bakal Ditindak Tegas

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, bahkan menilai wacana ini terlalu dini. “Secara struktural, ekonomi Indonesia masih menghadapi masalah fundamental seperti defisit neraca dagang dan pelemahan konsumsi. Redenominasi sekarang hanya akan menjadi ilusi angka yang mengalihkan fokus dari reformasi ekonomi riil,” katanya. (Validnews, 2025). Ia menilai, pemerintah perlu memastikan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dan inflasi di bawah 3 persen selama beberapa tahun berturut-turut sebelum kebijakan ini efektif diterapkan.

Kendati demikian, wacana redenominasi rupiah tetap mendapat dukungan dari sebagian ekonom yang menilai bahwa perubahan nominal bisa menjadi simbol konsolidasi nasional. Jika dijalankan secara hati-hati dan bertahap, kebijakan ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap rupiah sekaligus memperindah citra keuangan Indonesia di mata dunia.(KR03)