Terjebak di Coalbrook: Ketika Apartheid Merenggut Nyawa

KompasReal.com

KompasReal.com – Di kedalaman hampir 200 meter di bawah bumi Afrika Selatan, tak seorang pun menyadari detik-detik menuju malapetaka. Ribuan pekerja tambang Coalbrook terus menggali batu bara, sampai suara gemuruh tiba-tiba mengumumkan tragedi terbesar dalam sejarah pertambangan dunia. Semua ini dipicu oleh keserakahan seorang bos.

Kisah ini bermula pada Kamis, 21 Januari 1960. Di pertambangan batu bara Coalbrook, ribuan pekerja bergegas memasuki perut bumi. Tambang yang beroperasi sejak 1905 itu tak pernah berhenti.

Batu bara adalah nadi energi Afrika Selatan, dan setiap hari ribuan ton hasil galian dikirim ke permukaan. Sejak lima tahun sebelum kejadian, Coalbrook telah memproduksi lebih dari dua juta ton batu bara per tahun.

Namun, tak ada yang menyangka hari itu akan menjadi lembaran terkelam dalam sejarah pertambangan dunia.

Seperti yang diceritakan dalam riset “Powering Apartheid: The Coalbrook Mine Disaster of 1960” (2020), menjelang siang, desas-desus keresahan mulai terdengar di bawah tanah. Suara gemuruh merayap melalui dinding batu.

Udara di lorong-lorong sedalam hampir 200 meter terasa berbeda—berat dan menekan. Beberapa pekerja mencoba naik ke permukaan, khawatir akan sesuatu yang buruk.

Namun, mereka tetap bekerja seperti biasa untuk menghindari hukuman dari bos. Hingga akhirnya, pukul 16.30, malapetaka benar-benar tiba.

Dinding tambang runtuh, diikuti longsoran besar. Tanah bergetar, lorong-lorong menyempit, udara menipis. Ratusan pekerja berusaha menyelamatkan diri.

Namun, begitu mencapai permukaan, mereka justru dihalangi oleh bos. Para pekerja dipaksa turun kembali. Jika mereka nekat kabur, hukuman penjara menanti.

Saat itu, Afrika Selatan masih menerapkan sistem apartheid, yang memisahkan warga kulit hitam dari kulit putih. Akibatnya, warga kulit hitam hidup menderita dan sulit melawan, termasuk mayoritas pekerja tambang.

Baca Juga :  Oracle Corporation Berencana Investasi di Indonesia, Fokus pada Teknologi AI

Bos bersikeras bahwa jika mereka berhenti bekerja, produksi akan menurun dan keuntungan berkurang. Oleh karena itu, ratusan pekerja harus terus menggali tambang. Mereka pun kembali memasuki lorong tambang.

Namun, dua jam kemudian, aktivitas pertambangan benar-benar berakhir. Longsor kembali terjadi, membuat ratusan pekerja terjebak di kedalaman 182 meter.

Evakuasi segera dilakukan. Tim menghitung ada 437 pekerja yang terjebak dan langsung memulai penyelamatan. Mereka mencoba mengebor dari atas, berharap masih ada ruang bernapas yang tersisa. Namun, hasilnya nihil.

Mengutip situs Mining Journal, penyelidikan mengungkapkan bahwa para pekerja tidak hanya terjebak, tetapi benar-benar tertimbun reruntuhan atau terkubur hidup-hidup. Bahkan jasad mereka pun tak bisa diangkat karena di dalam tanah penuh gas metana dan karbon dioksida beracun.

Belakangan terungkap bahwa tambang Coalbrook seharusnya sudah ditutup karena strukturnya rapuh. Namun, karena harga batu bara melonjak, perusahaan memaksakan operasi kembali tanpa peralatan yang memadai.

Ratusan pekerja yang dipaksa mempertaruhkan nyawa akhirnya benar-benar kehilangan hidupnya.

Ironisnya, pengadilan kala itu hanya menyebut tragedi ini sebagai “kecelakaan kerja” tanpa kompensasi bagi keluarga korban. (KR/CNBC)