KompasReal.com,Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatera dalam beberapa tahun terakhir memicu pertanyaan kritis:murni bencana alam atau dampak dari eksploitasi lingkungan yang masif? Sebuah daftar perusahaan yang beredar di media sosial menuding sejumlah korporasi di sektor kehutanan, perkebunan, dan energi sebagai ‘biang kerok’ di balik musibah tersebut, menyulut debat publik tentang akar masalah ekologis di pulau itu.
Alinea 2 (Paparan Data):
Daftar tersebut memetakan perusahaan per wilayah.Untuk Sumatera Barat (Padang dan sekitarnya), disebutkan nama-nama seperti PT SBI, PT DDP, dan PT LAK. Sementara di wilayah Sumatera Utara (Tapanuli), yang diunggulkan antara lain PT Toba Pulp Lestari (TPL), PT NSHE (pengelola PLTA Batang Toru), dan PTPN IV. Di Aceh, PT RWP dan PT LMR juga tercantum. Satu nama, PT Tri Bahtera Srikandi (TBS), bahkan disertai keterangan “pidana!”.
Alinea 3 (Konteks dan Dampak):
Wilayah-wilayah yang disebutkan,seperti Tapanuli dan Batang Toru, memang telah lama menjadi sorotan akibat konflik antara pembangunan industri dan kelestarian lingkungan. Aktivitas pembukaan lahan skala besar, alih fungsi hutan, dan perubahan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) diduga kuat menjadi penyebab utama meningkatnya kerentanan wilayah tersebut terhadap banjir dan longsor.
Alinea 4 (Pertanyaan Kritis & Respons Publik):
Pertanyaan tajam”Bencana Alam atau Kejahatan Korporasi?” yang terpampang dalam gambar merefleksikan kemarahan dan frustrasi masyarakat korban banjir. Mereka mendesak investigasi yang independen dan transparan untuk menelusuri hubungan kausal antara operasi perusahaan-perusahaan tersebut dengan frekuensi dan intensitas bencana yang terjadi. Isu ini telah menjadi bahan perbincangan panas, sekaligus menguji komitmen penegakan hukum lingkungan.
Alinea 5 (Tantangan Penegakan Hukum):
Meski daftar ini beredar dan mendapat tanggapan luas,langkah hukum yang tegas sering kali terasa lamban. Kompleksitas pembuktian, kuatnya kepentingan ekonomi, serta tumpang tindih kebijakan dinilai menjadi penghambat. Masyarakat sipil mendesak agar pemerintah tidak hanya berfokus pada tanggap darurat banjir, tetapi lebih pada pencegahan dengan meninjau ulang izin-izin usaha yang berpotensi merusak ekosistem.
Alinea 6 (Penutup & Refleksi):
Daftar’biang kerok’ banjir Sumatera ini lebih dari sekadar viralisasi; ia adalah cermin kegelisahan kolektif akan masa depan lingkungan. Ia menantang semua pemangku kebijakan untuk memilih: meneruskan pola pembangunan yang mengabaikan daya pulih alam, atau melakukan koreksi fundamental demi keberlanjutan. Jawabannya akan menentukan apakah banjir di Sumatera akan tetap menjadi “ritual” tahunan yang mematikan, atau bisa dihentikan dari hulu.KR03












