Politik Balas Dendam dan Tantangan Membangun Media serta Kepemimpinan yang Berkelas

Redaksi

Poto.peliputan waktu acara jumbara di wilayah pudun jae.psp

KompasReal.com, Tabagsel
Fenomena politik balas dendam kini semakin terlihat di ruang publik Indonesia. Setelah momentum kekuasaan berganti, sering kali muncul gelombang kebijakan atau pernyataan yang beraroma pembalasan terhadap pihak yang sebelumnya berseberangan. Pola ini bukan hanya memperkeruh stabilitas politik, tetapi juga menumbuhkan rasa kebencian di tengah masyarakat. Dalam atmosfer seperti itu, narasi publik kerap dibentuk bukan untuk mencerdaskan, melainkan untuk memuaskan ego politik semata.

Ironisnya, arus kebencian tersebut sering diperkuat oleh pemberitaan yang tendensius dan bias. Tidak sedikit media yang terbawa arus kepentingan, sehingga kehilangan fungsi idealnya sebagai penyeimbang kekuasaan dan penjaga kebenaran. Ketika pemberitaan lahir dari amarah atau pesanan, objektivitas pun dikorbankan. Padahal, kekuatan media sejatinya terletak pada keberanian untuk menampilkan fakta apa adanya, bukan mengabdi pada kepentingan golongan tertentu.

Politik balas dendam hanya melahirkan lingkaran setan: pejabat baru menyerang yang lama, dan yang lama menunggu kesempatan untuk membalas. Dalam kondisi seperti ini, rakyat menjadi korban. Energi yang seharusnya digunakan untuk membangun malah terbuang untuk menebus ego. Oleh karena itu, baik pemimpin daerah maupun tokoh publik perlu membangun budaya politik yang berorientasi pada kolaborasi, bukan konfrontasi.

Media juga memegang peran penting dalam memutus rantai kebencian ini. Untuk menjadi mitra strategis dalam pembangunan, media harus kembali pada prinsip jurnalisme profesional: independen, mandiri, dan berintegritas. Profesionalitas tidak hanya berarti patuh pada kode etik, tetapi juga berani menjaga jarak dari tekanan ekonomi maupun politik. Media yang berkualitas tidak perlu keras untuk didengar; cukup konsisten pada kebenaran.

Di sisi lain, para pemimpin daerah perlu mengubah pola pikir dalam memandang media. Pers bukan ancaman, melainkan mitra dalam membangun transparansi dan kepercayaan publik. Kepemimpinan yang cerdas justru lahir dari kemauan untuk dikritik secara objektif. Kolaborasi yang sehat antara pemerintah daerah dan media bisa melahirkan ruang publik yang lebih beradab dan produktif, jauh dari aroma balas dendam politik.

Baca Juga :  Rempah-Rempah Nusantara: Kekayaan Aroma dan Sejarah

Akhirnya, tantangan terbesar bangsa ini bukan pada siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk kepentingan bersama. Politik tanpa dendam dan media tanpa bias adalah dua sisi mata uang yang sama: keduanya menentukan kualitas demokrasi dan peradaban bangsa. Saatnya kita semua, baik pemimpin maupun insan pers, berani naik kelas — menjadi bangsa yang berpikir, bukan sekadar bereaksi.(KR03)