kompasreal

Adat Budaya Batak Angkola: Antara Ancaman Terpinggirkan dan Upaya Pelestarian

Keterangan Foto: kegiatan adat budaya Batak Angkola.

Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, KompasReal.com – Pergeseran nilai dan ancaman terpinggirkannya budaya Batak Angkola di tanah kelahirannya menjadi perhatian serius. Meskipun pergeseran budaya merupakan hal yang wajar seiring perkembangan zaman, pertanyaan mendasar muncul: apakah masyarakat Angkola masih sepenuhnya mengenal dan menghargai identitas budayanya sendiri? Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya jati diri dan warisan budaya yang kaya ini.

Pahri Efendi Harahap, dalam perspektifnya tanggal 29 November 2024, mengungkapkan keprihatinannya. “Pergeseran nilai-nilai budaya Angkola di tanah kelahirannya dan para pemiliknya sudah menjadi hal wajar dikarenakan berbagai faktor. Hanya saja jangan sempat tidak mengenal identitas diri dan jati dirinya. Dia lebih mencintai budaya orang lain dan budaya asing,” ujarnya.

Pahri Efendi Harahap menekankan pentingnya memahami identitas budaya sebagai bagian dari jati diri, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah Al Hujurat ayat 13 yang menekankan pentingnya saling mengenal antar suku bangsa.

“Berdasarkan surah atau ayat tersebut mengakui adanya suku bangsa di dunia ini. Tentunya setiap suku bangsa memiliki norma dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya,” jelasnya.

Ia mencontohkan sistem partuturon/tutur sapa dalam budaya Angkola yang lebih terperinci dan khusus dibandingkan cara nasional. Sistem ini, menurut Harahap, bernilai kesantunan dan masih relevan dengan ajaran agama.

“Norma dan nilai-nilai budaya Angkola yang masih berlaku saat ini masih dianggap memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Bukan ‘menyalahkan’ seluruhnya yang ada dalam budaya Angkola,” katanya.

Namun, keprihatinan muncul ketika banyak yang berdomisili di komunitas Angkola namun tidak memahami partuturon/tutur sapa.

“Justru yang menjadi persoalan, berdomisili dalam komunitas masyarakat Angkola namun tidak mau tahu partuturon/tutur sapa. Padahal partuturon/tutur sapa ini adalah pintu masuk ketika berbicara dengan orang lain,” tegasnya.

Baca Juga :  Potongan Gaji Linmas Pilkada Pasaman: KPU Klaim Beres, Petugas Mengaku Belum Terima

Sebagai solusi, Pahri Harahap menyarankan penguatan pendidikan budaya Angkola melalui jalur formal, informal, dan keluarga.

“Norma dan nilai-nilai budaya Angkola dapat diwariskan melalui pendidikan keluarga, pendidikan informal, dan pendidikan formal,” ujarnya. Ia mengusulkan penerapan mata pelajaran Budaya Angkola sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Padang Lawas.

Lanjutnya, untuk memperkuat argumennya dengan dasar hukum yang ada, termasuk UUD 1945 Pasal 32, UU No. 05 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, PP No. 87 Tahun 2021, dan Perda terkait pelestarian budaya lokal. Ia juga merujuk pada UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Permendikbud No. 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013.

“Secara konstitusional sudah ada sebagai landasan hukum dalam menerapkan suatu budaya. Jangan sempat negara lain ‘mengklaim’ atau mengembangkannya baru kita ‘marah-marah’. Padahal kita tidak peduli dengan budaya sendiri,” pungkasnya.

Pahri Harahap juga berharap pemerintah daerah setempat dapat mengambil peran aktif dalam melestarikan budaya Angkola melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *