KompasReal.com – Gangguan penglihatan pada anak usia sekolah menjadi perhatian serius karena dapat secara langsung memengaruhi proses belajar dan prestasi akademiknya. Masalah paling umum yang ditemukan adalah kelainan refraksi.
Jenis Utama Kelainan Refraksi:
- Miopia (Rabun Jauh / Mata Minus): Kondisi di mana cahaya jatuh di depan retina karena bola mata terlalu panjang. Anak kesulitan melihat benda dari jarak jauh (pandangan buram). Miopia merupakan jenis kelainan refraksi yang paling umum pada anak-anak.
- Survei di Jakarta menunjukkan bahwa hingga 40,5% anak SD mengalami mata minus.
- Miopia sering kali mulai terjadi pada rentang usia 8-12 tahun dan dapat memburuk selama masa pertumbuhan (usia 13-19 tahun).
- Astigmatisme: Pandangan kabur atau terdistorsi akibat bentuk kornea yang tidak sempurna. Penelitian menunjukkan astigmatisme dan miopia merupakan kelainan refraksi terbanyak.
- Hipermetropia (Rabun Dekat): Anak kesulitan melihat objek dari jarak dekat. Kondisi ini seringnya terjadi sebelum usia sekolah.
- Ambliopia (Mata Malas): Penurunan fungsi penglihatan pada salah satu mata karena otak tidak mengoptimalkan sinyal dari mata tersebut. Ini dapat disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak ditangani atau mata juling (strabismus). Jika dibiarkan, dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen pada satu mata.
- Strabismus (Mata Juling): Kedua bola mata tidak sejajar.
Penyebab dan Faktor Risiko
Gangguan penglihatan pada anak disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor:
- Kebiasaan Jarak Dekat yang Berlebihan:
- Penggunaan gadget atau screen time yang lama: Kebiasaan ini merupakan pemicu utama saat ini, apalagi pasca pandemi COVID-19 di mana pembelajaran daring meningkat.
- Membaca terlalu dekat: Jarak membaca yang ideal adalah sekitar 25–30 cm. Membaca di tempat kurang cahaya juga memperparah.
- Kurangnya Aktivitas Luar Ruangan: Paparan cahaya matahari di luar ruangan (minimal 2 jam per hari) terbukti membantu menjaga kesehatan mata dan memperlambat laju miopia. Anak yang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan berisiko lebih tinggi.
- Faktor Genetik (Keturunan): Risiko anak mengalami mata minus meningkat signifikan jika salah satu atau kedua orang tua juga mengalaminya.
- Pencahayaan yang Kurang Tepat: Pencahayaan yang redup atau tidak memadai saat belajar dapat menyebabkan mata cepat lelah (astenopia) dan memperburuk kondisi.
Gejala yang Perlu Diperhatikan Orang Tua
Orang tua harus peka terhadap gejala berikut pada anak:
- Sering menggosok atau memicingkan mata.
- Duduk terlalu dekat dengan TV atau membaca buku dalam jarak yang sangat dekat.
- Mengeluh pusing atau sakit kepala.
- Sering berkedip atau mata terlihat cepat lelah.
- Memiringkan kepala saat mencoba melihat sesuatu.
- Tidak tertarik pada objek yang memerlukan fokus penglihatan.
Pencegahan dan Penanganan
Deteksi dini dan penanganan segera sangat penting untuk mencegah masalah penglihatan menjadi permanen.
- Skrining Mata Rutin: Pemeriksaan mata secara rutin (setiap 2 tahun) wajib dilakukan, terutama pada anak dengan riwayat keluarga miopia.
- Menerapkan Aturan 20-20-20: Setiap 20 menit melakukan aktivitas jarak dekat (seperti menatap layar), istirahatkan mata selama 20 detik dengan melihat objek sejauh 20 kaki (sekitar 6 meter).
- Meningkatkan Waktu di Luar Ruangan: Dorong anak untuk bermain di luar rumah setidaknya 40 menit hingga 2 jam per hari.
- Menggunakan Kacamata Sesuai Resep: Jika terdiagnosis mata minus, anak harus menggunakan kacamata dengan ukuran yang tepat untuk menghindari penambahan minus yang tidak terkontrol.
- Intervensi Medis: Dokter mata dapat merekomendasikan:
- Obat tetes mata Atropin dosis rendah untuk memperlambat perkembangan miopia.
- Penggunaan lensa kontak khusus (seperti ortho-k atau lensa multifokal).
- Gizi Seimbang: Konsumsi makanan bergizi tinggi vitamin A (wortel, sayuran hijau) dan Omega 3 (ikan) untuk menjaga kesehatan mata.
Kesimpulan:
Gangguan penglihatan, terutama miopia, pada anak sekolah dasar merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu perhatian serius dari pemerintah (melalui program skrining), sekolah, guru, dan terutama orang tua. Perubahan gaya hidup, khususnya dalam pembatasan screen time dan peningkatan aktivitas luar ruangan, adalah kunci utama pencegahan. (KR/gm)