“Seolah orangutan Tapanuli yang mati ini dianggap tidak masalah atau tidak ada yang mengetahuinya,” kata Primadona dengan nada kesal.
Dipaparkannya, yang katanya NGO seperti GJI (Green Justice Indonesia), PRCF Indonesia (Pelestari Ragam Hayati dan Cipta Foundasi Indonesia), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), COP (Centre for Orangutan Protection), SRI (Sumatra Rainforest Institute), meskipun YKI (Yayasan Konservasi Indonesia) tidak ada dalam daftar undangan dalam perayaan memperingati orangutan yang selalu mengatakan berperan aktif dan selalu mengkampanyekan untuk melindungi dan melestarikan orangutan Tapanuli, adalah kebohongan dan merupakan sebuah kebusukan yang hanya untuk mendapatkan donor supaya program berjalan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
“Keberadaan NGO yang mengklaim berperan aktif dalam pelestarian orangutan Tapanuli ini perlu dipertanyakan karena mereka tidak memberikan tanggapan atas kematian orangutan tersebut,” sebutnya lagi.
Menurut Primadona, BBKSDA-SU sebagai stakeholder utama dalam perlindungan satwa, terlebih atas kematian dua ekor orangutan Tapanuli ini juga dianggap tidak memberikan respons yang memadai.
Sebagai CSO lokal, pihaknya mengecam keras situasi ini dan berencana untuk mengajukan tuntutan kepada pihak berwenang, termasuk BBKSDA-SU dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk mengusir NGO yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi.
“Kita akan bersuara kepada pihak berwenang bahkan akan melakukan aksi di BBKSDA-SU sampai ke Menteri LHK untuk mengusir dan tidak memperbolehkan NGO luar yang mengatasnamakan melindungi dan melestarikan orangutan Tapanuli berkegiatan di Kawasan Ekosistem Batangtoru,” tandasnya.
Mereka sepakat menolak rencana menjadikan kawasan ekosistem Batangtoru sebagai kawasan strategis Nasional, yang diduga hanya untuk kepentingan penjualan karbon. Menurut mereka, hal ini akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja dengan mengabaikan kepentingan pelestarian lingkungan dan masyarakat lokal.