Paradoks Kenyamanan Sosial: Mengapa Kita Tenang Hidup Bersama Penjahat Besar, Namun Gelisah oleh Pelaku Kejahatan Kecil?”

Redaksi

KompasReal.com,KR03 Dalam dinamika sosial modern, terdapat sebuah paradoks psikologis yang sering kali luput dari pembahasan publik: masyarakat tampak lebih tenang hidup berdampingan dengan pelaku kejahatan berskala besar—koruptor, bandar judi, hingga bandar narkoba—tetapi merasa sangat terganggu oleh pelaku kejahatan kecil seperti maling ayam atau pencuri jemuran. Fenomena ini bukan sekadar anomali moral, melainkan cerminan rumit dari persepsi, struktur sosial, serta konstruksi psikologis yang terbentuk oleh pengalaman kolektif.

Secara psikologis, kejahatan kecil memiliki tingkat immediacy yang lebih tinggi. Ia menyentuh keseharian masyarakat, masuk langsung ke pekarangan rumah, merusak rasa aman yang paling mendasar. Ketika ayam hilang atau pakaian raib, korban merasakan dampak konkret dan personal. Sebaliknya, kejahatan besar terasa abstrak karena efeknya bersifat sistemik dan tidak langsung. Masyarakat tahu dampaknya besar, namun tidak selalu merasakan luka itu pada harta atau ruang hidupnya secara langsung, sehingga ancaman terasa lebih jauh dan samar.

Selain itu, aktor kejahatan berskala besar sering kali beroperasi dalam ruang sosial yang “tertata”. Mereka memiliki kekuasaan, fasilitas, dan jejaring yang membuat mereka tampil rapi, sopan, dan bahkan terhormat. Secara psikologis, manusia cenderung lebih menerima sosok yang menampilkan citra “terintegrasi dengan sistem”. Sementara pelaku kejahatan kecil kerap muncul dari kelompok sosial yang tampak rentan, acak, dan dekat dengan kehidupan warga. Dalam konteks ini, ancaman terasa lebih nyata karena jarak sosialnya lebih dekat.

Kondisi ini juga diperkuat oleh konstruksi budaya yang secara halus mengajarkan masyarakat bahwa kejahatan besar adalah urusan negara atau aparat, sementara kejahatan kecil adalah ancaman langsung terhadap ruang personal. Kasus korupsi miliaran rupiah mungkin mengganggu logika moral masyarakat, tetapi tidak cukup mengguncang rasa aman fisik dan emosional seseorang. Namun ketika sehelai pakaian lenyap, masyarakat merasa harga dirinya dilukai, martabatnya direndahkan, dan batas privasinya ditembus.

Baca Juga :  Profesor Harvard Ungkap Menjaga kebugaran Lansia di Atas 60 Tahun

Tak dapat dipungkiri, media juga memainkan peran krusial dalam membentuk persepsi. Ekspos kejahatan kecil sering kali dikemas dramatis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, memperkuat narasi bahwa maling ayam lebih mengancam ketenangan lingkungan dibanding bandar judi yang bertransaksi di balik layar. Sementara koruptor tampil dengan jas rapi dan senyum di kamera, pencuri kecil tampak lusuh dan mudah disalahkan. Representasi visual ini menciptakan bias psikologis yang sulit dihindari.

Pada akhirnya, paradoks kenyamanan ini menyingkap masalah yang lebih mendasar: masyarakat telah lama hidup dalam kondisi “adaptasi patologis”, yaitu kebiasaan menerima kejahatan besar sebagai sesuatu yang wajar, sementara begitu sensitif terhadap gangguan kecil. Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem hukum, edukasi publik, dan kebiasaan sosial dalam menilai ancaman. Ketika pelaku kejahatan besar dianggap bagian dari struktur, maka masyarakat merasa tak berdaya; tetapi terhadap pelaku kejahatan kecil, masyarakat merasa mampu menegakkan reaksi langsung.

Paradoks ini seharusnya menjadi refleksi kolektif. Sebuah masyarakat yang sehat tidak boleh terbiasa berdamai dengan kejahatan besar, sementara memelihara ketakutan irasional terhadap pelaku minor. Keadilan dan rasa aman hanya dapat tegak jika persepsi publik dipulihkan melalui penegakan hukum yang konsisten, edukasi moral yang berimbang, serta ruang publik yang tidak membiarkan kejahatan—besar maupun kecil—mendapat toleransi berbeda. Tanpa itu, kita hanya akan terus hidup dalam ilusi kenyamanan, sambil mengabaikan bahaya yang sebenarnya lebih menggerogoti bangsa dari dalam.edy siregar