KompasReal.com,Padangsidimpuan–Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tabagsel, Mohot Lubis, S.Sos., menegaskan bahwa mahasiswa harus memiliki disiplin berpikir dan kecerdasan bermedia sosial untuk menghadapi derasnya arus informasi di era digital. Hal itu disampaikannya saat membawakan materi “Tantangan Literasi Media di Era Digital” pada kegiatan Pengenalan Jurnalistik PWI Tabagsel 2025 di Emerald Hall Hotel Mega Permata Kota Padangsidimpuan, Sabtu (15/11).
Menurut Mohot, disiplin berpikir merupakan fondasi bagi generasi muda sebelum menanggapi maupun menyebarkan informasi di media sosial. Ia mengingatkan agar mahasiswa tidak mudah terjebak dalam percakapan yang menyerang personal karena cenderung melahirkan aksi saling memuja atau menghujat.
“Disiplin berpikir artinya tahu dengan siapa kita berbicara dan apa yang kita bicarakan. Niat seseorang dalam menyampaikan informasi bisa dilihat dari perilakunya. Karena itu, berpikirlah jernih dan hindari perilaku negatif ketika menanggapi isu publik,” ujarnya.
Dalam paparannya, Mohot meminta mahasiswa memahami bahwa aktivitas digital memiliki aturan yang mengikat. Ia mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memuat ancaman pidana hingga enam tahun serta denda maksimal Rp1 miliar untuk berbagai pelanggaran konten.
“Selain UU ITE, ada Undang-Undang Pers, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, hingga aturan terkait pemerasan dan pengancaman. Semuanya bisa bersinggungan ketika terjadi penyebaran informasi yang tidak benar,” jelasnya.
Mohot juga menyoroti hak proregatif setiap orang dimuka hukum, sehingga tidak ada satu aturanpun yang dapat memaksa orang untuk berbicara.Bahakn dalam persidangan, halim tidak dapat memaksa tersangka atau saksi untuk berbicara. Begitu juga dalam dunia jurnlistik, ada aturan of the record dan hak sumber tidak menjawab.
“Dalam hukum kita, tidak ada satu ayat pun yang mewajibkan seseorang harus berkata-kata. Bahkan hakim tidak bisa memaksa saksi menjawab jika ia mengatakan lupa atau mengatakan tidak tau,” katanya.
Selain aspek hukum, Mohot mengingatkan adanya pergeseran nilai moral dan etika akibat digitalisasi. Ia menyebut perubahan pola komunikasi dalam keluarga hingga munculnya masalah rumah tangga yang dipicu interaksi di media sosial sebagai fenomena yang semakin umum terjadi.
“Pengguna media sosial terbesar adalah generasi muda, termasuk mahasiswa. Namun dampaknya meluas ke semua kalangan, bahkan menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus di pengadilan agama,” ujarnya.
Ia mencontohkan kebiasaan anak kecil yang hanya tenang ketika diberi gawai (HP)hingga orang tua yang tanpa sadar menjadikan ponsel sebagai alat menenangkan anak. Menurutnya, perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran budaya komunikasi yang harus disikapi dengan bijak.
Mohot menutup materinya dengan mengajak mahasiswa menjadi pengguna media sosial yang bertanggung jawab. “Sebelum mengunggah sesuatu, pikirkan dampaknya. Usahakan apa yang kita bagi menjadi edukasi, motivasi, dan hal-hal positif yang bermanfaat bagi banyak orang,” pungkasnya.Redaksi,KR







