KompasReal.com, Padangsidimpuan – Fenomena pengangkatan kepala sekolah di beberapa wilayah semakin jauh dari aturan yang berlaku. Penempatan kepala sekolah yang seharusnya berdasarkan merit, prestasi, dan regulasi justru sering dipenuhi praktik penyimpangan.
Lamanya jabatan kepala sekolah hingga puluhan tahun, bahkan melebihi batas usia 56 tahun, jelas melanggar aturan dan menutup peluang regenerasi bagi tenaga pendidik yang lebih muda dan potensial.
Kepala sekolah yang terlalu lama berkuasa cenderung merasa memiliki otoritas mutlak, sehingga muncul sikap feodalistik yang menghambat dinamika pendidikan.
Dugaan Ijazah Aspal dan Implikasinya
Terdapat kasus kepala sekolah yang tidak mencantumkan gelar sarjana ketika menandatangani ijazah siswa, menimbulkan pertanyaan besar tentang keabsahan gelar akademik mereka.
Dugaan penggunaan ijazah “aspal” oleh beberapa kepala sekolah juga menjadi sorotan, yang dapat berdampak langsung pada keabsahan dokumen siswa, termasuk ijazah yang mereka terima.
Gaya hidup kepala sekolah yang mewah juga menjadi sorotan, dengan “flexing” di media sosial atau dalam kehidupan sehari-hari.
Sistem pengawasan yang lemah turut menjadi pemicu suburnya praktik-praktik menyimpang tersebut.
Dalam hal ini, Dinas Pendidikan, Inspektorat, dan aparat penegak hukum harus mengambil langkah tegas untuk menangani kasus ini. Kemudian penelusuran terhadap dugaan ijazah aspal harus segera dilakukan.
Selain itu, rotasi jabatan kepala sekolah yang terlalu lama menduduki pposisi juga harus diberlakukan serta batas usia juga harus ditegakkan sesuai regulasi.
Oleh sebab itu, fungsi kontrol masyarakat, termasuk LSM dan jurnalis, sangat diperlukan agar dunia pendidikan tidak terus dibiarkan amburadul. Masa depan anak bangsa terlalu berharga untuk disandera oleh segelintir kepala sekolah yang menyalahgunakan jabatan. (KR03)