KompasReal.com ,Tahun 1975, usia Abah Guru Sekumpul telah menginjak kurang lebih 33 tahun, sebuah fase kedewasaan yang matang untuk membangun rumah tangga. Sebagai seorang ulama, keinginan untuk memiliki keturunan yang kelak meneruskan tugas dan amanah keilmuan pun tumbuh kuat dalam diri beliau. Namun, keinginan mulia itu diiringi kegundahan hati tentang kepada siapa beliau harus menyampaikan isi hatinya.
Beliau merasa berat jika harus membebani orang tuanya dengan keinginan itu, mengingat kondisi keluarga yang serba sederhana. Di sisi lain, beliau juga merasa sungkan untuk bermusyawarah dengan pamannya, Syekh Muhammad Semman Mulia, karena sang paman sendiri saat itu masih belum menikah. Perasaan ini terus berkecamuk dalam jiwa Guru Zaini, menciptakan kebimbangan yang dalam.
Di tengah kebingungan itu, takdir mulai berbicara melalui mimpi. Seorang Habib di Martapura bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Dalam mimpinya, Rasulullah Saw. bersabda, “Itu Zaini, dia mau menikah, dia rajin baca shalawatku, dia rajin memujiku, mengajarkan ilmuku, bantu dia, dan kamu harus turun tangan.” Mimpi yang jelas dan penuh perintah ini menjadi awal dari rentetan peristiwa penting.
Segera setelah terbangun, sang Habib bergegas menuju rumah Guru Zaini untuk menyampaikan pesan mimpinya kepada orang tua sang ulama. Kedua orang tua Guru Zaini menyambut baik kabar tersebut dan menyatakan kesediaan mereka. Namun, mereka merasa tidak bisa mengambil keputusan final sebelum bermusyawarah dengan Syekh Muhammad Semman Mulia, sang paman yang sangat dihormati.
Ketika dimintai pendapat, Syekh Semman Mulia pada dasarnya sangat menyetujui niat keponakannya. Akan tetapi, beliau juga merasa perlu untuk meminta izin dan restu dari guru spiritualnya, Syekh Muhammad Syarwani Abdan atau yang dikenal sebagai Guru Bangil. Dengan demikian, tongkat estafet permohonan restu berpindah ke Bangil, Jawa Timur.
Beberapa waktu kemudian, Guru Zaini pun berangkat ke Bangil untuk bersilaturahmi dan memohon petunjuk dari Syekh Muhammad Syarwani Abdan. Pertemuan itu berlangsung penuh kehangatan. Setelah mendengar seluruh uneg-uneg dan proses yang dialami Guru Zaini, Guru Bangil menyambut gembira keinginan beliau untuk menikah.
Namun, Guru Bangil memberikan satu saran lagi. Beliau menyarankan agar Guru Zaini segera menemui seorang ulama besar lainnya, K.H. Hamid di Pasuruan, untuk memohon izin dan restu terakhir. Restu dari K.H. Hamid dianggap sebagai penutup dari rangkaian permohonan bimbingan ini. Tanpa menunda, Guru Zaini pun melanjutkan perjalanan spiritualnya.
Meski waktu telah menunjukkan sekitar pukul empat dini hari, Guru Zaini tetap berangkat ke Pasuruan dengan tekad yang bulat. Beliau tiba di kota tersebut tepat ketika adzan Subuh berkumandang dari Masjid Al-Anwar. Usai menunaikan shalat Subuh, beliau langsung menuju kediaman K.H. Hamid.
Kebetulan pagi itu adalah hari Jumat, di mana di rumah K.H. Hamid rutin diadakan pembacaan Burdah. Guru Zaini dengan khidmat mengikuti majelis tersebut, menyimpan maksud hatinya dalam-dalam. Setelah pembacaan Burdah usai, terjadi sebuah kejadian yang di luar dugaan.
K.H. Hamid tiba-tiba memanggil Guru Zaini dan memintanya untuk mendekat. Saat Guru Zaini sudah berada di dekatnya, sang ulama tua itu memegang paha Guru Zaini sambil mengucapkan bahwa beliau mengetahui maksud kedatangan tamunya. Dengan penuh kelembutan, K.H. Hamid menyatakan kesetujuan, memberikan izin, serta melimpahkan doa restu untuk pernikahan Guru Zaini.
Usai peristiwa penuh makna itu, K.H. Hamid meminta diri untuk masuk ke kamarnya. Guru Zaini yang merasa hatinya telah tenang dan lengkap, segera pulang kembali ke Bangil. Tujuannya adalah untuk menyampaikan kabar bahagia tentang restu dari K.H. Hamid kepada Syekh Muhammad Syarwani Abdan.
Dengan telah diperolehnya restu dari seluruh guru dan pihak yang dituakan, perjalanan spiritual untuk memohon izin pun telah tuntas. Sepulangnya ke Martapura, Guru Zaini menyerahkan sepenuhnya urusan memilihkan pasangan hidup kepada “dapur” atau kaum perempuan di keluarganya, yaitu ibunda tercintanya, Masliyah, dan adik perempuannya, Rahmah.
Setelah melalui pertimbangan yang matang, pilihan jatuh kepada seorang wanita shalihah bernama Juwairiyah binti H. Sulaiman, yang tinggal di Kampung Pesayangan, Martapura. Akhirnya, tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Dilangsungkanlah akad nikah yang sederhana namun khidmat, diiringi walimah yang penuh keberkahan.
Pagi itu, prosesi dimulai dengan Guru Zaini diturunkan dari rumah ayah angkatnya, Al-Habib Zean bin Muhammad Al-Habsyi. Beliau diiringi oleh banyak orang serta didampingi dan digandeng langsung oleh dua ulama besar, K.H. Badrudin dan Syekh Semman Mulia, menuju rumah mempelai perempuan. Pernikahan yang penuh barakah ini dihadiri oleh para habaib serta sejumlah besar alim ulama dari Martapura, menjadi saksi bisu atas perjalanan panjang yang diawali dengan sebuah titipan mimpi dari Rasulullah Saw.KR03

